Ketika kalian mendengar kata “mahasiswa hukum” pasti selalu diidentikkan dengan pasal-pasal, peraturan perundang-undangan, pengacara, dan pengadilan. Asumsi lain yang terlintas dibenak masyarakat adalah mahasiswa hukum erat kaitannya dengan pandai berbicara, insan organisatoris hingga penggiat sosial karena kerap kali turun ke Jalanan. Tidak hanya itu, sebagian masyarakat juga beranggapan negatif tentang fakultas hukum yang melahirkan generasi S.H yang sering diplesetkan menjadi Susah Hidup, hukum dibuat untuk dilanggar, hukum adalah produk politik. Terkadang saya tersenyum sendiri karena kegelian yang menyelimuti saya akan asumsi-asumsi tersebut yang mendeskripsikan mahasiswa hukum di Indonesia. Pernahkah kalian mendengar istilah agen perubahan atau nama kerennya agent of change? Saya rasa pernah, karena istilah ini menjadi trend centre dikalangan mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi baik internal maupun eksternal kampus.
Friedmann mengemukakan bahwa “Hukum adalah pendapat manusia yang dilahirkan yang dari suatu perasaan moral manusia secara universal sehingga hukum harus dijadikan pedoman kehidupan”. Analogi dari pendapat Friedmann dengan mahasiswa hukum dimana memanusiakan manusia melalui didikan secara keilmuan maupun moral sehingga menjadi generasi yang memiliki integritas dan perasaan peka terhadap lingkungan sekitar diharapkan kelak dapat menegakkan hukum dan keadilan yang dapat dijadikan falsafah hidup masyarakat. Mengapa hukum dan keadilan harus berjalan beriringan? Karena, pada hakikatnnya hukum tidak dapat ditegakkan dalam masyarakat jika tidak mendatangkan keadilan. Keadaan tersebut dapat menimbulkan negara chaos dan pemerintahan otoriter. Indonesia sebagai negara hukum yang jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, dimana tujuan negara hukum ialah mewujudkan keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Menjadi seorang mahasiswa hukum bukanlah perkara gampang bukan juga perkara sulit namun bisa dikatakan gampang-gampang sulit. Jangan takut menjadi mahasiswa hukum karena alasan menghafalkan undang-undang, karena pada hakikatnya kecerdasan dari seorang mahasiswa hukum dinilai bukan dari seberapa banyak undang-undang yang dihafal tetapi seberapa besar kemampuannya dalam menganalisis suatu pasal dengan peristiwa yang terjadi sehingga menghasilkan pendapat hukum. Persis seperti sebuah adagium yang mengatakan bahwa perbedaan seorang ahli matematika dengan ahli hukum ketika berdiskusi yakni ketika para ahli matematika berkumpul 1 tambah 1 samadengan 2 sudah sewajarnya karena merupakan ilmu pasti, berbeda dengan para ahli hukum 1 tambah 1 samadengan tak terhingga karena banyak sisi yang perlu dipertimbangkan selain itu disebabkan oleh hukum adalah ilmu dinamis yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat sehingga teori-teorinya pun mengalami perubahan. Mengutip dari pendapat Daniel Amory dalam Minor Snobs “Dont you think most of those kids think too much about who got an A or a B when they were in law school and what that means to an inflated G.P.A. and not enough about the world?”, memberikan gambaran bahwa seorang mahasiswa hukum seharusnya tidak terpaku pada nilai yang didapat dibangku perkuliahan hal tersebut tidaklah cukup untuk mengubah dunia, namun dengan intelegensi yang dimiliki beserta keinginan yang mendalam dapat menjadikan mahasiswa hukum sebagai cerminan dari kebijaksanaan dan idealisme diantara fakultas-fakultas lainnya. Everything has changed guys… tentang akan menjadi apa nantinya, seorang mahasiswa hukum harus memegang teguh prinsip idealisme sejak dini, karena kepercayaan masyarakat yang yakin bahwa fakultas hukum dapat melahirkan pemimpin yang dapat memanusiakan manusia dalam perkara menjalankan peraturan sesuai dengan harkatnya atau dapat dikatakan das sein das sollen yang sejalan tidak hanya sebagai pembuat produk undang-undang. (CSH)