Pada tanggal 2-4 September 2022, telah diselenggaran acara BKS Dekan Hukum Wilayah Barat yang bertempat di Fakultas Hukum UNTIRTA, kampus Sindangsari, Pabuaran. Beberapa rangkaian kegiatan yang sudah diagendakan terlaksana dengan baik. Pembukaan dibuka oleh Wakil Rektor 1 UNTIRTA dan dihadiri oleh Wakil Rektor IV, para Dekan di lingkungan Untirta, para ketua lembaga juga Dosen Fakultas Hukum Untirta.
Acara Seminar Nasional yang mengambil tema “Dari Hukum Adat Untuk Pembangunan Hukum Nasional” menghadirkan para pakar di bidangnya yang berbicara mengenai Hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia. Yaitu Prof. Dr. Busyra Azheri, S.H.,M.H. (Dekan FH Universitas Andalas) yang berbicara tentang Penyelesaian Konflik dalam Hukum Adat Minangkabau. Lalu hadir pulan Dr. M. Gaussyah, S.H.,M.H. (Dekan FH Universitas Syah Kuala) yang membicarakan tentang Hukum Adat Aceh. Dr. Rena Yulia, S.H.,M.H. (Dosen FH UNTIRTA) yang menyoroti tentang Hukum Pidana Adat Baduy dan Ageng Triganda, S.H.,M.H (Dosen FH Universitas Jambi) yang membawakan tema Kato Seiyo dalam Adat Melayu Jambi. Lalu dimoderatori oleh Dr. M. Noor Fajar, S.H.,M.H, Dosen FH UNTIRTA.
Pembahasan mengenai hukum adat menjadi menarik tatkala dihubungkan dengan penegakan hukum nasional. Dari pemaparan para narasumber, ditemukan berbagai penyelesaian konflik Adat yang dianggap efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi selama ini. Bahkan paradigma penyelesaian konflik yang dianggap terbaru saat ini (restorative justice) telah dimiliki hukum adat ratusan tahun yang lalu.
Seminar Nasional ini menghasilkan beberapa hal, antara lain:
- Indonesia memiliki kekayaan berupa masyarakat Adat, terdapat beberapa suku adat yang masih menjunjung tinggi adat istiadatnya dan digunakan sebagai tatanan kehidupan.
- Dalam seminar ini yang dikaji adalah Hukum (Pidana) Adat Baduy, Hukum Adat Minangkabau, Aceh dan Suku Anak Dalam.
- Hukum adat yang sejatinya masih berlaku, selalu dikalahkan oleh hukum nasional. Hal itu merupakan imbas dari UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan terhadapnya dengan alasan tidak ada aturannya.
- Setiap perkara yang sudah diselesaikan oleh hukum adat, baik perkara pidana maupun perdata, menjadi inkracht, artinya memiliki kekuatan hukum yang tetap dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh lagi, termasuk tidak boleh lagi diajukan ke Pengadilan atau diselesaikan oleh hukum nasional, harus dianggap nebis in idem.
- UU No. 1 Drt Tahun 1951 jo Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 4 Rahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mengakui Peradilan Adat, oleh karena itu UU No 1 Drt Tahun 1951 harus dicabut kembali agar dapat diakui kembali mekanisme peradilan adat yang sebelumnya diakui melalui Stb 1932 No. 80 tahun 1932.
- Paradigma restorative justice sebetulnya merupakan mekanisme penyelesaian konflik dalam hukum adat, baik dalam Hukum Adat Baduy, Aceh, Minangkabau dan Anak Dalam Jambi. Akan tetapi konsep restorative justice lebih diadopsi dibandingkan dengan konsep penyelesaian konflik yang terdapat dalam hukum adat.
- Perlunya pengakuan mekanisme penyelesaian konflik dalam hukum adat yang dijadikan penyelesaian konflik dalam hukum nasional.
- Perlunya pengakuan mekanisme lembaga adat/sistem peradilan pidana adat, agar dapat menyelesaikan konflik pidana sesuai dengan situasi dan sosiologis bangsa sendiri. Sebagai contoh hukum adat Baduy yang menempatkan posisi korban dalam peradilan adat sebagai pihak yang pertama dan utama. Hal ini penting mengingat tujuan dari penyelesaian konflik adalah pemulihan ke keadaan semula. Tentu memulihkan keseimbangan yang sudah terganggu yaitu korban, pelaku dan masyarakat.
- Perlunya harmonisasi antara hukum adat dengan hukum nasional, melalui peraturan daerah di tempat suku adat itu tinggal. Akan tetapi peraturan daerah tersebut bukan hendak menegasikan keberadaan hukum adat melainkan bentuk pengakuan terhadap keberadaan hukum adat tersebut.
Beberapa hal di atas merupakan temuan hasil diskusi yang tentunya dapat dijadikan rekomendasi bagi pemangku kepentingan, terutama berkaitan dengan pembaharuan hukum nasional yang berasal dari hukum adat. Hal ini penting, mengingat hukum nasional tidak melulu harus mengadopsi hukum yang berasal dari luar negeri melainkan internalisasi hukum adat sebagai bentuk manifestasi dari menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat.